PENERBIT IRFANI - Oleh: Ahmad Soleh, Owner Penerbit Irfani
Memasuki tahun 2025, Penerbit Irfani mengusung tagline “Bertumbuh, Bertambah”. Tagline ini dikemukakan untuk membangun semangat dan harapan untuk terus berbuat yang lebih baik dalam menghadapi perjalanan satu tahun ke depan. Tagline ini juga merupakan hasil permenungan dan refleksi atas apa yang sudah dilalui Penerbit Irfani selama tiga tahun ke belakang. Bahwa bertahan untuk tetap “bertumbuh dan bertambah” tidaklah mudah.
Tantangan dan hambatan pastilah ada di setiap perjalanan. Namun, hal itu perlu dipandang secara konstruktif karena itulah yang akan membentuk kita menjadi lebih matang dan mengerti bagaimana caranya bertahan, belajar, dan berkembang. Semisal, bagaimana menghadapi tenggat (deadline) yang sangat relatif, mengerjakan naskah dengan ketelitian, memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pelanggan, dan tentu berusaha memberikan hasil cetak sebaik mungkin. Kendati, memang terkadang tak selalu memuaskan karena ekspektasi orang tentu berbeda-beda.
Namun, dengan semangat memberikan yang terbaik, kami selalu mencoba hadir memenuhi kebutuhan para penulis yang umumnya menerbitkan buku secara mandiri atau independen. Kolaborasi penulis dan penerbit mutlak demi mewujudkan kemajuan bersama. Semangat itulah yang diusung Penerbit Irfani untuk hadir sebagai penerbit buku indie yang menjembatani penulis dengan karya berkualitas dengan publik. Sekali lagi, kolaborasi penulis dan penerbit adalah kunci.
Filosofi Bertumbuh, Bertambah
Perjalanan Penerbit Irfani selalu diiringi tantangan. Bagaimana mungkin bisa hidup dari bisnis yang “sunyi” dari lalu lalang pasar. Ya, faktanya memang tidak semua orang suka membaca, apatah lagi menulis. Kami menghadapi ini dengan sangat hati-hati, tetapi tetap berusaha optimistis bahwa segala sesuatu akan “bertumbuh” pada masanya. Dengan semangat untuk tetap dan terus “bertumbuh” itulah kami meyakini bahwa budaya literasi itu dapat ditumbuhkan dengan perlahan namun pasti. Dan ini adalah perjalanan yang panjang, hampir tak ada ujungnya.
Untuk membangun ekosistem literasi yang positif dan berdampak, memang dibutuhkan kerja keras yang tak kenal lelah. Budaya literasi yang baik harus diwujudkan dengan kerja-kerja intelektual-kreatif yang tidak biasa-biasa saja. Kita perlu memadukan kemampuan menalar dan keluwesan berkreasi untuk bisa “membebaskan” diri dari kebiasaan-kebiasaan yang monoton. Kita tentu merasakan bagaimana sulitnya membangun budaya membaca di level diri sendiri. Sebelum mengajak orang lain, tentunya filosofi bertumbuh itu harus kita tumbuhkan dalam diri kita terlebih dulu.
“Siapa menanam, dia mengetam” begitulah kata pepatah orang bijak. Jika kita menanamkan kebaikan, suatu saat akan menuai kebaikan pula. Menanamkan kecintaan terhadap literasi pula menjadi jalan kita untuk meraih berbagai macam kebaikan setelahnya. Bisa kita bayangkan bagaimana generasi mendatang jika tidak punya kegemaran terhadap literasi. Cita-cita mewujudkan generasi emas atau generasi Indonesia hebat hanya akan menjadi bualan dan “omong kosong” tak berdasar. Maka, kerja-kerja konkret perlu dilakukan.
Memang, buku bukan satu-satunya sumber informasi atau sumber pengetahuan di era sekarang ini. Inilah pandangan umum masyarakat yang begitu aktif mengonsumsi produk digital hingga tanpa sadar “diperbudak” algoritma mesin. Namun, patut menjadi pertanyaan kita, apakah ada media lain yang bisa menggantikan “keampuhan” buku dalam membangun tradisi intelektual, kritisisme, dan kemampuan mencipta? Kita tidak perlu “alergi” terhadap perkembangan informasi yang ada, hanya saja perlu kita tempatkan buku sebagai dasarnya.
Selain itu, kita perlu meyakini bahwa upaya yang digalakkan dalam mewujudkan kebaikan akan memupuk rasa peduli yang lebih luas. Sehingga, semangat yang dipupuk di sini akan menyebar dan meluas dan menumbuhkan kesadaran. Bertambah orang-orang yang sadar. Bertambah orang-orang yang peduli. Bertambah orang-orang yang berbuat, bertindak, dan bekerja melakukan kebaikan.
Untuk membangun ekosistem literasi yang positif dan berdampak, memang dibutuhkan kerja keras yang tak kenal lelah. Budaya literasi yang baik harus diwujudkan dengan kerja-kerja intelektual-kreatif yang tidak biasa-biasa saja. Kita perlu memadukan kemampuan menalar dan keluwesan berkreasi untuk bisa “membebaskan” diri dari kebiasaan-kebiasaan yang monoton. Kita tentu merasakan bagaimana sulitnya membangun budaya membaca di level diri sendiri. Sebelum mengajak orang lain, tentunya filosofi bertumbuh itu harus kita tumbuhkan dalam diri kita terlebih dulu.
“Siapa menanam, dia mengetam” begitulah kata pepatah orang bijak. Jika kita menanamkan kebaikan, suatu saat akan menuai kebaikan pula. Menanamkan kecintaan terhadap literasi pula menjadi jalan kita untuk meraih berbagai macam kebaikan setelahnya. Bisa kita bayangkan bagaimana generasi mendatang jika tidak punya kegemaran terhadap literasi. Cita-cita mewujudkan generasi emas atau generasi Indonesia hebat hanya akan menjadi bualan dan “omong kosong” tak berdasar. Maka, kerja-kerja konkret perlu dilakukan.
Memang, buku bukan satu-satunya sumber informasi atau sumber pengetahuan di era sekarang ini. Inilah pandangan umum masyarakat yang begitu aktif mengonsumsi produk digital hingga tanpa sadar “diperbudak” algoritma mesin. Namun, patut menjadi pertanyaan kita, apakah ada media lain yang bisa menggantikan “keampuhan” buku dalam membangun tradisi intelektual, kritisisme, dan kemampuan mencipta? Kita tidak perlu “alergi” terhadap perkembangan informasi yang ada, hanya saja perlu kita tempatkan buku sebagai dasarnya.
Selain itu, kita perlu meyakini bahwa upaya yang digalakkan dalam mewujudkan kebaikan akan memupuk rasa peduli yang lebih luas. Sehingga, semangat yang dipupuk di sini akan menyebar dan meluas dan menumbuhkan kesadaran. Bertambah orang-orang yang sadar. Bertambah orang-orang yang peduli. Bertambah orang-orang yang berbuat, bertindak, dan bekerja melakukan kebaikan.
Optimistis Belumlah Cukup
Menumbuhkan optimisme saja tentu belumlah cukup. Selanjutnya, kita harus berpikir bagaimana strategi dan langkah konkret untuk mewujudkan itu semua. Menggembirakan membaca buku menjadi “PR” bersama. Dengan kegemaran membaca, kebiasaan menulis dapat dimulai dengan lebih ringan. Irfani sebagai penerbit indie akan terus berusaha membersamai para penulis untuk menghasilkan karya terbaik. Tentu, perlahan bersama-sama kita tingkatkan kualitas secara konten dan pengemasan.Itulah bentuk kolaborasi apik penerbit dan penulis yang sama-sama memiliki tujuan. Memiliki misi besar mencerahkan semesta lewat karya imajinatif dan intelektual. Yang juga tak kalah penting untuk kita lakukan adalah mempromosikan karya terbitan kepada publik secara lebih luas dan pede. Ini bukan hanya soal seberapa besar angka penjualan, tetapi bagaimana kita menggugah kesadaran publik akan pentingnya membudayakan literasi ini.
Penting sekali poin ini kita garis bawahi. Bahwa setiap karya yang dilahirkan sejatinya adalah persembahan untuk publik pembaca. Sebagus apa pun karya itu, jika hanya menjadi arsip pribadi dan tidak dibaca orang lain, tidak akan berdampak apa-apa. Sambil di sisi lain kita juga pastikan bahwa kita mampu mempertanggungjawabkan apa yang kita tulis, apa yang kita terbitkan.
Ya, optimistis saja belumlah cukup. Barangkali menerbitkan buku memanglah sesuatu yang istimewa. Sebab, tak semua orang mampu menghasilkan karya. Tidak semua orang berani menerbitkan karyanya ke hadapan khalayak. Pada akhirnya kita harus membuat karya sebaik-baiknya. Menghasilkan buah pikiran yang menginspirasi dan mengajak pembaca untuk bisa memaknainya.
Mari hadapi 2025 ini dengan semangat kebersamaan. Bertumbuhlah segala harapan. Bertambahlah segala kebaikan.