NaR9Nax9LWVcLGx7LGB6LGJ4NTcsynIkynwdxn1c
Semesta Puisi: Antara Sentuhan Personal & Ambiguitas Makna

Semesta Puisi: Antara Sentuhan Personal & Ambiguitas Makna


PENERBIT IRFANI - Oleh: Ahmad Soleh

Sentuhan personal dalam puisi itu amatlah penting. Setidaknya, dengan begitu, puisi akan menjadi karya yang benar-benar lahir dari alam pikiran dan perasaan autentik si penyair. Bukan dari yang lain. Sekalipun puisi itu tentang orang lain atau apa yang mereka rasakan, seorang penyair semestinya mampu menempatkan diri dalam persoalan itu. Seolah-olah ia yang mengalami. Seolah ia yang merasakan.

Ya, “pengalaman” dalam sebuah puisi memang tidak melulu penyair yang mengalami sendiri. Terkadang hanya sebuah “seolah”. Yang tentu bisa didapat hanya dengan penghayatan. Melihat saja tidak cukup. Merasakan saja belum cukup. Sebab itulah, yang “seolah” itu yang akan menjadi kekuatan dalam rangkaian bait larik puisi yang ditorehkan si penyair. Nuansa dan rasa pun akan menguar tanpa dipaksakan puitis dalam kata-kata.

Ya, sentuhan personal. Kuncinya itu.

Sajak-sajak dalam buku Memaknai Aku ini telah seluruhnya saya baca dan hayati. Terkadang memang sulit masuk ke dimensi itu. Sebab, puisi seindah apa pun sangat terbatas oleh kosakata dan ruang bahasa yang pula terbatas. Pun, manusia dibatasi oleh pengetahuan dan ketidak-tahuan. Dalam puisi, kadang keinginan memunculkan bunyi serupa (rima) malah mengaburkan makna. Saya menyebutnya rima yang tak berirama. Sehingga, esensi keindahan hanya terletak pada pilihan kata yang terbatas itu.

Apa yang digambarkan penyair asal Amerika, Stanley Kunitz, agaknya ada benarnya. Bahwa “puisi yang ada di dalam kepala selalu sempurna. Penolakan dimulai ketika kita berusaha mengonversinya ke dalam bahasa.” (2019: 198). Lalu, manakah yang harus didahulukan, apakah bunyi kata ataukah makna kata? Kunitz menyebutkan, solusinya ialah dengan menjadi bahasa itu sendiri. Ritme, menurut dia, bukan hanya milik objek material—dalam hal ini, kata-kata—melainkan milik dunia dalam diri kita. Kesatuan bunyi dengan kehadiran makna itulah irama, yang semestinya dapat hadir seiring sejalan dalam bait puisi.

“Bangunan puisi yang baik ialah tatkala rasa dan suasana dalam puisi itu dapat terwujud dan dapat dirasakan oleh pembaca.”


Saya termasuk yang tidak mau terlalu memaksa dalam mengejar bunyi kata, meskipun hal itu dapat diupayakan semaksimal mungkin. Misalnya dengan membuka kamus, tesaurus, membaca kem-bali puisi lain, atau mencomot diksi-diksi arkais (kuno, jadul, tak lazim digunakan di zaman sekarang). Namun, bagi saya, yang terpenting dari sebuah puisi ialah rasa dan suasana. Bangunan puisi yang baik ialah tatkala rasa dan suasana dalam puisi itu dapat terwujud dan dapat dirasakan oleh pembaca. Ya, mediumnya kata-kata. Namun, bukankah puisi tak sekadar kata-kata?

Puisi mampu memulihkan kata sebagai peristiwa. Setidaknya begitulah ung-kapan Gunawan Mohamad dalam esainya (2016: 68). Sejumlah puisi yang terkumpul dalam buku ini telah membuktikan kata-kata itu tidak saja membawa makna seperti yang ada pada kamus besar, melainkan juga makna—suasana—yang lebih mendalam. Ia membawa konteks, yang bisa jadi berbeda penafsiran antara penyair dan pembaca. Ya, ia (puisi) akan menjadi air yang mengalir dan menyejukkan. Pun, menjadi ombak yang menghantam. Juga, kadang menjadi arus yang menghanyutkan.

Hal penting lainnya dalam mencipta puisi adalah adanya ambiguitas (ambiguity). Dalam ungkapan lain, ambiguitas disebut sebagai ruang kemungkinan makna, di mana di dalam ambiguitas itulah ada kemung-kinan atau alternatif pemaknaan lain atas puisi yang diciptakan. Sekalipun gaya yang digunakan bukan kiasan atau metafora, puisi mesti memberikan ruang bagi pembaca untuk mengambil pemaknaan lain dari puisi itu. Meskipun begitu, fungsi ambigutas bukanlah untuk mengaburkan makna, melainkan untuk meluaskan makna. Begitulah sastra menghadirkan “kemungkinan”, seperti yang digambarkan Budi Darma.

Bagi saya, puisi-puisi dalam buku ini mampu memberikan kita (pembaca) ruang untuk berkontemplasi sejenak. Yang akan mengajak kita menyelami makna dan menyelami kata lebih dalam. Bacalah Memaknai Aku saat dirimu sendiri atau berdua bersama sepi. Rasakan dan hayati kedalaman maknanya. Rasakan apa yang “aku” di luar sana rasakan.

*Ditulis sebagai mukadimah untuk buku Memaknai Aku



Komentar

Formulir Pemesanan via Whatsapp