Kita harus rakus membaca.
Saya membayangkan, bagaimana dengan tradisi membaca yang baik, seseorang akan terlepas dari belenggu ketidaktahuan. Ya, merdeka paling pertama yang mesti kita wujudkan adalah merdeka dari ketidaktahuan, merdeka dari kebodohan.
Tradisi membaca yang baik, juga menjadi satu prasyarat bagi kita menulis. Menulis satu buku, mesti membaca puluhan buku lain sebagai referensi. Mula-mula membaca, lalu menuangkan segala keresahan dalam tulisan.
"Peradaban dibangun dari titik dan koma, dari hal-hal kecil," kata Buya Syafii Maarif. Dulu, Bung Karno menggiatkan berantas buta huruf. Tak lain agar pribumi mampu membaca. Sebab membaca dapat mengatasi ketidaktahuannya. Kini, saya rasa belajar membaca sudah diajarkan sejak anak usia dini, TK, bahkan bimba AIUEO.
Sehingga, membaca pada masa sekarang mesti diartikan lebih radikal lagi. Tidak sekadar melek aksara, tetapi juga melek literasi. Tidak hanya memahami arti dari rangkaian huruf, tetapi juga mampu menangkap konteks dan isi. Tantangan yang mungkin berat, tetapi mau tak mau harus dihadapi.
Menyambut Hari Kemerdekaan 77 Tahun Republik Indonesia, kita harus kembali menggalakkan tradisi membaca, terutama buku. Bung Hatta pernah berujar, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku aku bebas." Ungkapan yang amat populer, tetapi kadang kita malas memaknainya.
"Bebas" yang diungkapkan Bung Hatta tidak sekadar bebas dalam pengertian harfiah. Ia berkaitan dengan jiwa, batin, dan mentalitas kita. Membaca buku dapat membebaskan kita dari kebodohan, kemunafikan, kerakusan, kemalasan, kemiskinan.
Para pejuang kemerdekaan telah memberikan teladan yang amat baik. Bung Karno adalah sosok yang gemar membaca. Bung Hatta bahkan menjadikan buku-buku sebagai temannya. Begitu juga tokoh-tokoh lain yang saya pikir tidak mungkin para pahlawan kita memiliki kesadaran untuk merdeka bila tanpa banyak membaca. Kesadaran itu terbangun karena tradisi membaca yang baik.
Lantas, sudah sejauh mana kita maknai merdeka? Sudah benar-benar merdekakah bangsa kita? Bila masih ada ketimpangan di sana-sini, penindasan, korupsi, kemiskinan, dan pendidikan yang belum jua merata, saya rasa kemerdekaan itu hanya sebatas buah bibir, tong kosong nyaring bunyinya. Banyak yang mengelola bangsa ini belum memiliki tradisi membaca yang baik. Bahkan, ada aparat yang gemar merazia buku-buku. Menyedihkan.
Maka itulah, mari kita tingkatkan daya baca kita. Gempuran informasi digital yang kian merebak, jangan sampai melemahkan tekad kita untuk menghabiskan dan melahap buku-buku. Kita harus rakus membaca.
Tak mengapa di luar sana riuh, sedang kita sunyi bersama buku-buku. Membaca, membaca, dan terus membaca. Lalu lakukan apa yang kita bisa. Tularkan kebaikan itu. Membangun rumah baca, mendonasikan buku-buku, menggerakkan komunitas literasi, dsb. Membaca membangun kesadaran.
Dengan buku aku merdeka!
Depok, 16 Agustus 2022
Ahmad Soleh
CEO Penerbit Irfani
Lantas, sudah sejauh mana kita maknai merdeka? Sudah benar-benar merdekakah bangsa kita? Bila masih ada ketimpangan di sana-sini, penindasan, korupsi, kemiskinan, dan pendidikan yang belum jua merata, saya rasa kemerdekaan itu hanya sebatas buah bibir, tong kosong nyaring bunyinya. Banyak yang mengelola bangsa ini belum memiliki tradisi membaca yang baik. Bahkan, ada aparat yang gemar merazia buku-buku. Menyedihkan.
Maka itulah, mari kita tingkatkan daya baca kita. Gempuran informasi digital yang kian merebak, jangan sampai melemahkan tekad kita untuk menghabiskan dan melahap buku-buku. Kita harus rakus membaca.
Tak mengapa di luar sana riuh, sedang kita sunyi bersama buku-buku. Membaca, membaca, dan terus membaca. Lalu lakukan apa yang kita bisa. Tularkan kebaikan itu. Membangun rumah baca, mendonasikan buku-buku, menggerakkan komunitas literasi, dsb. Membaca membangun kesadaran.
Dengan buku aku merdeka!
Depok, 16 Agustus 2022
Ahmad Soleh
CEO Penerbit Irfani